Fenomena dan isu-isu spasial-global, baik fisik-alamiah maupun
sosial-budaya yang terjadi dipermukaan bumi sebagai ruang hidup serta
kehidupan, merupakan sumber kajian yang menantang studi geografi.
Fenomena dan isu-isu tersebut, wajib menjadi pengetahuan tiap orang,
terutama peserta didik yang mempelajari geografi. Oleh karena itu,
menjadi tantangan bagi guru geografi untuk mengantisipasinya menjadi
bahan pembelajaran yang bermakna, agar masyarakat, khususnya peserta
didik tidak menjadi korban masalah spasial-global yang sedanag melanda
kehidupan dewasa ini, dan hari-hari mendatang. Hanya disini,
bagaimanakah kemampuan profesional guru-guru geografi dilapangan mampu
menjadikan fenomena spasial-global itu menjadi materi pembelajaran yang
mengembangkan pola pikir peserta didik menghadapi masalah-masalah
spasial-global yang tidak terpisahkan dari kehidupan
PENGANTAR
Fenomena apapun dalam ruang peermukaan bumi, baik itu fisikal-alamiah, maupun sosial-budaya, tidak dapat melepaskan diri dari perubahan. Bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi informasi-komunikasi, perubahan itu sangat mengarus. Kita, terutama guru, lebih khusus lagi guru geografi, harus berupaya terhindar dari korban perubahan, namun berupaya mengendalikan perubahan itu (Masters of Change:Boast, W.M., Martin, B.:2001). Salah satu perubahan yang dialami oleh guru di lapangan, tidak terkecuali guru geografi, yaitu perubahan kurikulum di tingkat sekolah yang tidak jarang “membingungkan”. Perubahan kurikulum ini memang “tuntutannya”, mengantisipasi perubahan yang sedang mengarus dalam kehidupan, terutama perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Namun demikian, dilancarkan perubahan kurikulum tersebut, tidak dilandasi oleh kesiapan/persiapan guru sebagai ujung tombak dilapangan.
Idealnya, guru, khususnya guru geografi sebagai orang lapangan, dengan kemampuan dan kematangan profesional, mampu mengantisipasi perubahan-perubahan tadi. Namun dalam kenyataan, lebih banyak kebingungan dari pada siap mengantisipasinya. Kadar profesional guru, khususnya guru geografi, masih hartus ditingkatkan. Salah satu prinsip profesional guru menurut Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen (Bab III, Pasal 7): “memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat”.
FENOMENA DAN ISU-ISU SPASIAL-GLOBAL
Kehidupan manusia saat ini, dihadapkan pada kenyataan perubahan yang mengarus sebagai dinamika fisikal-alamiah, dan terutama perkembangan sosial-budaya. Pertumbuhan penduduk dunia, termasuk pertumbuhan penduduk Idonesia yang terus meningkat, menjadi faktor pendorong pertumbuhan kebutuhan (needs), baik kuantitas maupun kualitas yang juga meningkat. Kemajuan dan pemanfaatan IPTEK dalam mengolah sumberdaya lingkungan (alam, sosial, budaya), sudah merupakan tuntutan yang tidak mungkin dicegah. IPTEK yang dilematik antara kadar positif (rahmat) dan negatif (laknat), harus menjadi kepedulian bersama untuk mengelolanya. Penerapan dan pemanfaatan IPTEK yang tidak terkendali, yang mengabaikan asas-asas ekologi dan kelestarian, telah membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kelestarian lingkungan sebagai sumberdaya.
Fenomena dan masalah-masalah spasial-global yang sedang melanda kehidupan dewasa ini, meliputi ;
- produktivitas pangan yang menurun, dan bahaya kelapan sebagai akibat gagal panen karena cuaca serta musim yang tidak menentu;
- erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan akibat rusaknya kawasan penampung hujan (catchment area), daerah resapan, dan areal hutan lindung, sebagai akibat pembalakan liar (illegal loging) yang tidak terkendali, serta pembangunan fisik (pemukiman, gedung-gedung, jalan) yang tidak memperhatikan drainase dan daerah resapan;
- pencemaran lingkungan (udara, air, tanah, suara) yang diakibatkan oleh pembangunan ekonomi (industri, pertambangan) yang tidak menerapkan AMDAL sebagaimana seharusnya.
- Pemanasan global (global warming), sebagai akibat terjadinya “efek rumah kaca” (green house effects) dari pencemaran udara yang makin meningkat (industri/pabrik, kendaraan bermotor), serta diperkuat oleh rusaknya kawasan hijau(pertamanan, hutan, jalur hijau) yang berfungsi menyerap gas-gas buangan.
- Fenomena gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, letusan gunung api yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku manusia (dalam penerapan, dan menggunakan IPTEK) yang mengabaikan perilaku serta dinamika fenomena alam (percobaan ledakan nuklir liar, penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan).
- Pengangguran dan kemiskinan yang meluas, sebagai akibat kesenjangan antara pertumbuhan penduduk, terutama pertumbuhan angkatan kerja dengan peluang, lapangan serta kesempatan kerja yang terbatas, dan diperkuat oleh ketidakseimbangan sumber-sumber kesejahteraan dampak dari kemiskinan struktural.
Fenomena dan masalah spasial-global tadi, menjadi tantangan bagi guru geografi dan bidang studi geografi, untuk dijadikan materi pembelajaran bagi peserta didik serta juga masyarakat, dalam membina kesadaran dan keterampilan antisipatif terhadap masalah-masalah diatas, sehingga tidak menjadi korban, bahkan dapat mengatasinya.
Guru, khususnya guru geografi dilapangan, masih belum mampu mengembangkan kadar profesional menjabarkan fenomena dan masalah-masalah spasial-global ke dalam materi pembelajaran geografi yang aktual, masih terikat oleh buku teks yang ada. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari beban pokok dalam melepaskan diri dari kehidupan yang menghimpit, akibat tidak seimbangnya penghasilan dengan biaya hidup yang dalam kenyataanya masih berat. Untuk mengembangkan kemampuan profesional sebagai “guru profesional” menurut prinsip profesional (undang-undang no 14/2005): “memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja”. Jika penghasilan yang dirumuskan oleh undang-undang itu telah jelas pada kenyataan, menjadi pendorong bagi guru, khususnya guru geografi untuk meningkatkan prestasi sebagai ciri profesionalisme, sehingga beban hidup yang menghimpit tidak lagi merupakan maslah, bahkan menjadi pendorong realisasi kinerja profesional. Sepanjang kebutuhan hidup pokok belum terpenuhi secara wajar sesuai dengan martabat kemanusiaan, sepanjang itu pula kualitas kerja profesional, sukar terlaksana.
Dalam perkembangan arus kehidupan yang makin mengarah pada sifat materialistik yang dapat dikatakan makin jauh dari nilai-nilai moral, kedudukan guru, termasuk guru geografi sebagai pendidik yang menjadi “ujung tombak” pembinaan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan jaman, hanyalah sebatas “wacana”. Sementara itu, bidang-bidang politik yang tidak langsung berhubungan dengan peningkatan pembinaan sumberdaya manusia generasi mendatang, memperoleh imbalan yang tinggi bila dibandingkan dengan penghasilan guru yang langsung berhubungan dengan proses “penciptaan” generasi yang idealnya berkemampuan kompetitif di ditengah-tengah arus kemajuan dan persaingan.
PENGEMBANGAN PROFESI GURU
Secara reguler, paling tidak, kurukulum di tingkat sekolah dikembangkan (pengembangan kurikulum, curriculum development) tiap lima tahun. Hal tersebut, berkedudukan penting untuk menyesuaikan materi pendidikan dan pembelajaran dengan kemajuan serta tuntutan perubahan kehidupan dengan segala aspeknya. Apabila tidak ada pengembangan kurikulum (oleh orang lapangan/guru, lebih dirasakan sebagai perubahan kurikulum), pendidikan dan pembelajaran disekolah akan keringgalan jaman.
Namun demikian, bagaimanapun baik dan indahnya kurikulum hasil pengembangan sesuai dengan tujuannya, belum tentu berhasil mencapai sasaran serta tujuan, apabila guru sebagai orang lapangan, tidak dipersiapkan dan memiliki kesiapan untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, harus didahului oleh pengembangan kemampuan guru sebelum kurikulum itu dilaksanakan di lapangan sebagai prasyaratnya. Pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, terutama jika terjadi “bertubi-tubi” dalam jangka waktu yang singkat, kurang dari lima tahun, menyebabkan terjadi “kebingungan” dalam diri guru sebagai pelaksana di lapangan. Apabila guru mengalami kebingungan, bagaimanakah implementasi di lapangan, jadinya.
Keberhasilan guru, termasuk guru geografi di lapngan, melaksnanakan tugas sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran, tercermin pada kemampuannya menjabarkan, memperkaya, memperluas, dan “menciptakan” kesesuaian serta keserasian kurikulum dengan realita fenomena dan isu-isu spasial-global, perkembangan IPTEK, serta perubahan sosial pada umumnya. Melalui mekanisme yang demikian itu, proses pendidikan dan pembelajaran, dapat memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan, membina manusia indonesia yang terampil, berpengetahuan, berilmu, berakhlak mulia sebagai calon sumberdaya manusia Indonesia yang modern. Oleh karena itu, sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah”.
Kadar profesional guru itu, termasuk guru geografi, tidak akan lahir begitu saja, melaikan melalui proses pembinaan yang bertahap dan berkesinambungan. Secara formal, tingkat profesional tersebut, diproses pada lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di perguruan tinggi. Secara non formal, melalui kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya, sarasehan, diskusi, dan sebangsanya. Secara individual guru masing-masing melakukan pengembangan pribadi (personal development) seperti yang dikemukakan oleh Jansen Sinamo dalam buku : 8 ETOS KERJA PROFESIONAL (2005), yang antara lain “Bergurau pada dongeng, berguru pada Kitab Suci, bergurau pada biografi, dan berguru pada buku-buku mencapai sukses”. Dengan demikian, membina profesional itu, tidak hanya terbatas pada pendidikan formal dan non formal, melainkan terutama juga sangat bergantung pada dorongan diri pribadi untuk mencapainya. Dalam buku The Seven Habits of Higly Effective People, Stephen R. Covey (1994), antara lain “mengemukakan kebiasaan-kebiasaan proaktif, sinergi, dan asah gergaji”.
“Iqra” – bacalah, perintah Tuhan ini hanya ditujukan kepada manusia, makhluk hidup yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk hidup lain, non manusia. “Membaca” dalam konsep ini, memiliki konotasi yang luas, bukan hanya membaca “teks” hitam diatas putih saja, melainkan membaca dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi membaca fenomena alam, air muka – perangai orang, tanda-tanda jaman, dan kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi di hari-hari mendatang. Guru geografi yang profesional, harus memiliki kemampuan “Iqra” ini, dalam membaca fenomena dan isu-isu spasial-global yang menjadi objek studi geografi. Perintah “Iqra” ini hanya ditujukan kepada manusia sebagai “makhluk pembaca”. Membaca, memiliki makna yang luas dalam menimba pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Dari kemampuan membaca ini, dapat mengembangkan kemampuan lain, yaitu menulis, baik artikel-artikel pendek, mapun buku-buku. Konsep Jansen Sinamo “berguru pada kitab suci, Biagrafi dan Buku-buku Mencapai Sukses, hakikatnya adalah membaca”.
Makna lain yang ada dalam diri manusia, termasuk dalam diri guru geografi, yaitu “manusia sebagai makhluk pembelajar” (Andrias Hafera:2000). Belajar bagi manusia, termasuk bagi guru geografi, merupakan proses sepanjang hayat, mulai dari saat lahir, sampai meninggal. Kemampuan membaca dan belajar pada diri manusia menghasilkan budaya/kebudayaan (Koentjaraningrat :1990:180). Kemampuan mengajar, sesungguhnya lahir dari kemampuan belajar yang bermakna (meaningfull learning) sesuai dengan ilmu pokok dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab. Guru profesional, khususnya guru geografi yang profesional, harus memiliki dan mengembangkan kemampuan belajar, supaya memiliki kemampuan mengajar secara profesional. Idealnya, membaca (iqra) dan belajar harus menjadi kebiasaan (habit), sehingga pengetahuan, khususnya pengetahuan geografi selalu aktual serta riil.
Bagi guru, termasuk guru geografi, kebiasaan proaktif (jemput bola), tidak menunggu datang/adanya buku paket/buku teks, melainkan secara aktif mencari sumber-sumber yang aktual (pustaka, grafika, elektronika, nara sumber) yang sesuai dengan pengetahuan pokok dan tugas pendidikan serta pembelajaran geografi yang memperkokoh kemampuan profesional. Kebiasaan bekerja sendiri sebagai guru profesional, merupakan hal yang sangat bermakna atas keyakinan dan harga diri. Namun demikian, bagaimanapun kita memiliki kelemahan yang “barangkali” dapat teratasi dengan kerjasama dengan pihak lain. Oleh karena itu, kebiasaan bersinergi, bukan hanya sebagai karakter makhluk sosial saja, melainkan juga untuk mengatasi kelemahan pribadi, bahkan juga untuk membantu pihak lain yang ada dalam keterbatasan. Karakter profesional, bukan hanya dicirikan oleh kekuatan atas kemampuan pribadi, juga harus tercermin dari kemampuan bekerjasama.
Kebiasaan asah gergaji seperti dikonsepkan oleh Stephen R. Covey (1984), dikaji dari kadar profesional guru, khususnya guru geografi, memiliki makna yang strategis. Guru geografi profesional, harus tetap menjaga aktualisasi diri, tetap segar (ever green) akan pengetahuan, ilmu, dan informasi baru sesuai dengan perkembangan fenomena serta isu-isu spasial global baru. Dengan demikian pola pikir (mindset) selalu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Kebiasaan asah gergaji ini, mekanisme dan prosesnya, melalui membaca pustaka-pustaka yang baru, kegiatan ilmiah (penelitian, seminar, diskusi, sarasehan) serta mengikuti informasi-informasi aktual melalui multi-media (grafika, elektronik, film), baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, mindset kita selaku guru geografi, tetap segar, tidak menjadi kuno.
Pengembangan kadar profesional guru, khususnya guru geografi secara formal, dilakukan melalui pendidikan formal, baik pendidikan akademik maupun pendidikan profesional (pendidikan kedinasan) atau bahkan kedua-duanya. Dengan demikian, secara akademik dan formal, dalam diri kita selaku guru, khususnya guru geografi. Berkaitan dengan undang-undang, tingkat profesional ini secara formal harus ada sertifikatnya. Oleh karena itu, harus ada pengujian formal, sehingga mendapat pengakuan.
Pengembangan dan pembinaan kadar profesional, seperti telah dibahas di atas, secara informal dilakukan sendiri oleh guru yang bersangkutan melalui pengembangan diri (personal development) dengan membaca, belajar mandiri, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai serta bermakna terhadap tuntutan tugas guru geografi. Secara non formal, dilakukann melalui kegiatan-kegiatan ilmiah seperti sarasehan, diskusi, seminar, lokakarya, dan pelatihan-pelatihan yang mendukung peningkatan kemampuan profesional. Dengan kegiatan-kegiatan yang terarah, baik informal maupun nonformal, kemampuan profesional itu sebagai guru geografi, pada kadar nonformal, dapat vterbina. Namun demikian, menurut undang-undang, konsep profesional itu dirumuskan (Undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1, ayat 4) sebagai berikut :
“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”.
Di sini jelas, bahwa profesional secara formal, tidak hanya berdasarkan kegiatan informal dan nonformal semata, melainkan harus dapat diukur secara formal berdasarkan hasil pendidikan profesi, yang mau tidak mau melalui pendidikan formal akademik, terutama pendidikan profesi melalui kedinasan atau lembaga pemerintahan (Dinas, Departemen). Profesional itu, dibuktikan oleh sertifikat pendidikan sebagai pengakuan kepada guru selaku tenaga profesional. Pembeerian sertifikat ini melalui proses “sertifikasi” yang dilakukan oleh Dinas atau Departemen Pendidikan Nasional.
Dari uraian singkat diatas, berikut ini akan disampaikan beberapa butir pernyataan sebagai kesimpulan.
KESIMPULAN
1. Fenomena dan isu-isu spasial-global sebagai akibat proses dinamika geosfer, merupakan tantangan bagi guru geografi untuk dijabarkan menjadi materi pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik.
2. Penjabaran fenomena dan isu-isu spasial-global yang dialami saat ini, menuntut kemampuan profesional guru geografi untuk menjabarkan ke dalam materi pembelajaran yang membekali peserta didik.
3. Pengembangan kurikulum yang kenyataannya di lapangan sebagai perubahan kurikulum, merupakan suatu tuntutan antisipatif terhadap perkembangan dan perubahan dinamika geosfer, baik fenomena fisikal-alamiah maupun sosial-budaya.
4. Pengembangan ataupun perubahan kurikulum, menuntut kemampuan profesional guru geografi utnuk menjabarkannya ke dalam materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik sebagai subjek pelaku pada kehidupannya.
5. Pada kenyataan saat ini, karena berbagai hal yang menghimpit kehidupan guru, khususnya kehidupan guru geografi, tuntutan profesional di atas, baru merupakan tantangan yang belum mampu diantisipasi oleh kemampuan yang masih harus dikembangkan.
6. Pengembangan profesional guru, termasuk guru geografi, secara nonformal, dapat dilakukan sendiri oleh guru geografi melalui kegiatan-kegiatan pengembangan pribadi (personal development) seperti membaca dalam arti yang seluas-luasnya, belajar, baik secara individual, maupun secara nonformal yang meliputi diskusi, sarasehan, seminar, lokakarya serta pelatihan-pelatihan.
7. Pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang bermakna yang meliputi proaktif, sinergi, dan asah gergaji, juga merupakan kesempatan yang sangat fungsional serta strategis membangun kemampuan profesional.
8. Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen, kemampuan profesional itu harus secara formal melalui pendidikan profesi dibawah tanggungjawab Pemerintah, Dinas serta Departemen. Profesional ini harus dibuktikan oleh sertifikat melalui proses sertifikasi.
Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan pada kesempatan yang sangat berharga sekarang. Dengan harapan ada manfaatnya bagi kita bersama, terutama bagi pendidikan geografi yang sedang ditantang oleh berbagai perkembangan dan perubahan yang sedang mengarus.
PUSTAKA RUJUKAN
Andrias Hafera (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara.
Boast, W.M., Martin, B. (2001), Masters of Change, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Covey, S.R. (1994), The Seven Habits of Higly Effective People, Jakarta, PT. Gramedia Asri Media.
Dweck, C.S. (2007), Change Your Mindset, Change Your Life, Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta.
Hall. D. (1976), Geography and Geography Teacher, London, George Allen & Unwin Ltd.
Jansen Sinamo (2005), 8 Etos Kerja Profesional, Jakarta, Institut Darma Mahardika.
Merryfield, M.M., Jarchow, E., Pickert, S., editor (1997), Preparing Teachers to Teach Global Perspectives, California, Corwin Press, Inc.
Nursid Sumaatmadja (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Penerbit Alfabeta.
Syafrudin Nurdin (2005), Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Jakrta, Penerbit Quantum Teaching.
Sztompka, P. (2004), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Williams, M., editor (1976), Geography and The Integrated Curriculum, London, Heinemann Educational Books.
PENGANTAR
Fenomena apapun dalam ruang peermukaan bumi, baik itu fisikal-alamiah, maupun sosial-budaya, tidak dapat melepaskan diri dari perubahan. Bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi informasi-komunikasi, perubahan itu sangat mengarus. Kita, terutama guru, lebih khusus lagi guru geografi, harus berupaya terhindar dari korban perubahan, namun berupaya mengendalikan perubahan itu (Masters of Change:Boast, W.M., Martin, B.:2001). Salah satu perubahan yang dialami oleh guru di lapangan, tidak terkecuali guru geografi, yaitu perubahan kurikulum di tingkat sekolah yang tidak jarang “membingungkan”. Perubahan kurikulum ini memang “tuntutannya”, mengantisipasi perubahan yang sedang mengarus dalam kehidupan, terutama perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Namun demikian, dilancarkan perubahan kurikulum tersebut, tidak dilandasi oleh kesiapan/persiapan guru sebagai ujung tombak dilapangan.
Idealnya, guru, khususnya guru geografi sebagai orang lapangan, dengan kemampuan dan kematangan profesional, mampu mengantisipasi perubahan-perubahan tadi. Namun dalam kenyataan, lebih banyak kebingungan dari pada siap mengantisipasinya. Kadar profesional guru, khususnya guru geografi, masih hartus ditingkatkan. Salah satu prinsip profesional guru menurut Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen (Bab III, Pasal 7): “memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat”.
FENOMENA DAN ISU-ISU SPASIAL-GLOBAL
Kehidupan manusia saat ini, dihadapkan pada kenyataan perubahan yang mengarus sebagai dinamika fisikal-alamiah, dan terutama perkembangan sosial-budaya. Pertumbuhan penduduk dunia, termasuk pertumbuhan penduduk Idonesia yang terus meningkat, menjadi faktor pendorong pertumbuhan kebutuhan (needs), baik kuantitas maupun kualitas yang juga meningkat. Kemajuan dan pemanfaatan IPTEK dalam mengolah sumberdaya lingkungan (alam, sosial, budaya), sudah merupakan tuntutan yang tidak mungkin dicegah. IPTEK yang dilematik antara kadar positif (rahmat) dan negatif (laknat), harus menjadi kepedulian bersama untuk mengelolanya. Penerapan dan pemanfaatan IPTEK yang tidak terkendali, yang mengabaikan asas-asas ekologi dan kelestarian, telah membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kelestarian lingkungan sebagai sumberdaya.
Fenomena dan masalah-masalah spasial-global yang sedang melanda kehidupan dewasa ini, meliputi ;
- produktivitas pangan yang menurun, dan bahaya kelapan sebagai akibat gagal panen karena cuaca serta musim yang tidak menentu;
- erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan akibat rusaknya kawasan penampung hujan (catchment area), daerah resapan, dan areal hutan lindung, sebagai akibat pembalakan liar (illegal loging) yang tidak terkendali, serta pembangunan fisik (pemukiman, gedung-gedung, jalan) yang tidak memperhatikan drainase dan daerah resapan;
- pencemaran lingkungan (udara, air, tanah, suara) yang diakibatkan oleh pembangunan ekonomi (industri, pertambangan) yang tidak menerapkan AMDAL sebagaimana seharusnya.
- Pemanasan global (global warming), sebagai akibat terjadinya “efek rumah kaca” (green house effects) dari pencemaran udara yang makin meningkat (industri/pabrik, kendaraan bermotor), serta diperkuat oleh rusaknya kawasan hijau(pertamanan, hutan, jalur hijau) yang berfungsi menyerap gas-gas buangan.
- Fenomena gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, letusan gunung api yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku manusia (dalam penerapan, dan menggunakan IPTEK) yang mengabaikan perilaku serta dinamika fenomena alam (percobaan ledakan nuklir liar, penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan).
- Pengangguran dan kemiskinan yang meluas, sebagai akibat kesenjangan antara pertumbuhan penduduk, terutama pertumbuhan angkatan kerja dengan peluang, lapangan serta kesempatan kerja yang terbatas, dan diperkuat oleh ketidakseimbangan sumber-sumber kesejahteraan dampak dari kemiskinan struktural.
Fenomena dan masalah spasial-global tadi, menjadi tantangan bagi guru geografi dan bidang studi geografi, untuk dijadikan materi pembelajaran bagi peserta didik serta juga masyarakat, dalam membina kesadaran dan keterampilan antisipatif terhadap masalah-masalah diatas, sehingga tidak menjadi korban, bahkan dapat mengatasinya.
Guru, khususnya guru geografi dilapangan, masih belum mampu mengembangkan kadar profesional menjabarkan fenomena dan masalah-masalah spasial-global ke dalam materi pembelajaran geografi yang aktual, masih terikat oleh buku teks yang ada. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari beban pokok dalam melepaskan diri dari kehidupan yang menghimpit, akibat tidak seimbangnya penghasilan dengan biaya hidup yang dalam kenyataanya masih berat. Untuk mengembangkan kemampuan profesional sebagai “guru profesional” menurut prinsip profesional (undang-undang no 14/2005): “memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja”. Jika penghasilan yang dirumuskan oleh undang-undang itu telah jelas pada kenyataan, menjadi pendorong bagi guru, khususnya guru geografi untuk meningkatkan prestasi sebagai ciri profesionalisme, sehingga beban hidup yang menghimpit tidak lagi merupakan maslah, bahkan menjadi pendorong realisasi kinerja profesional. Sepanjang kebutuhan hidup pokok belum terpenuhi secara wajar sesuai dengan martabat kemanusiaan, sepanjang itu pula kualitas kerja profesional, sukar terlaksana.
Dalam perkembangan arus kehidupan yang makin mengarah pada sifat materialistik yang dapat dikatakan makin jauh dari nilai-nilai moral, kedudukan guru, termasuk guru geografi sebagai pendidik yang menjadi “ujung tombak” pembinaan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan jaman, hanyalah sebatas “wacana”. Sementara itu, bidang-bidang politik yang tidak langsung berhubungan dengan peningkatan pembinaan sumberdaya manusia generasi mendatang, memperoleh imbalan yang tinggi bila dibandingkan dengan penghasilan guru yang langsung berhubungan dengan proses “penciptaan” generasi yang idealnya berkemampuan kompetitif di ditengah-tengah arus kemajuan dan persaingan.
PENGEMBANGAN PROFESI GURU
Secara reguler, paling tidak, kurukulum di tingkat sekolah dikembangkan (pengembangan kurikulum, curriculum development) tiap lima tahun. Hal tersebut, berkedudukan penting untuk menyesuaikan materi pendidikan dan pembelajaran dengan kemajuan serta tuntutan perubahan kehidupan dengan segala aspeknya. Apabila tidak ada pengembangan kurikulum (oleh orang lapangan/guru, lebih dirasakan sebagai perubahan kurikulum), pendidikan dan pembelajaran disekolah akan keringgalan jaman.
Namun demikian, bagaimanapun baik dan indahnya kurikulum hasil pengembangan sesuai dengan tujuannya, belum tentu berhasil mencapai sasaran serta tujuan, apabila guru sebagai orang lapangan, tidak dipersiapkan dan memiliki kesiapan untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, harus didahului oleh pengembangan kemampuan guru sebelum kurikulum itu dilaksanakan di lapangan sebagai prasyaratnya. Pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, terutama jika terjadi “bertubi-tubi” dalam jangka waktu yang singkat, kurang dari lima tahun, menyebabkan terjadi “kebingungan” dalam diri guru sebagai pelaksana di lapangan. Apabila guru mengalami kebingungan, bagaimanakah implementasi di lapangan, jadinya.
Keberhasilan guru, termasuk guru geografi di lapngan, melaksnanakan tugas sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran, tercermin pada kemampuannya menjabarkan, memperkaya, memperluas, dan “menciptakan” kesesuaian serta keserasian kurikulum dengan realita fenomena dan isu-isu spasial-global, perkembangan IPTEK, serta perubahan sosial pada umumnya. Melalui mekanisme yang demikian itu, proses pendidikan dan pembelajaran, dapat memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan, membina manusia indonesia yang terampil, berpengetahuan, berilmu, berakhlak mulia sebagai calon sumberdaya manusia Indonesia yang modern. Oleh karena itu, sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah”.
Kadar profesional guru itu, termasuk guru geografi, tidak akan lahir begitu saja, melaikan melalui proses pembinaan yang bertahap dan berkesinambungan. Secara formal, tingkat profesional tersebut, diproses pada lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di perguruan tinggi. Secara non formal, melalui kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya, sarasehan, diskusi, dan sebangsanya. Secara individual guru masing-masing melakukan pengembangan pribadi (personal development) seperti yang dikemukakan oleh Jansen Sinamo dalam buku : 8 ETOS KERJA PROFESIONAL (2005), yang antara lain “Bergurau pada dongeng, berguru pada Kitab Suci, bergurau pada biografi, dan berguru pada buku-buku mencapai sukses”. Dengan demikian, membina profesional itu, tidak hanya terbatas pada pendidikan formal dan non formal, melainkan terutama juga sangat bergantung pada dorongan diri pribadi untuk mencapainya. Dalam buku The Seven Habits of Higly Effective People, Stephen R. Covey (1994), antara lain “mengemukakan kebiasaan-kebiasaan proaktif, sinergi, dan asah gergaji”.
“Iqra” – bacalah, perintah Tuhan ini hanya ditujukan kepada manusia, makhluk hidup yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk hidup lain, non manusia. “Membaca” dalam konsep ini, memiliki konotasi yang luas, bukan hanya membaca “teks” hitam diatas putih saja, melainkan membaca dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi membaca fenomena alam, air muka – perangai orang, tanda-tanda jaman, dan kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi di hari-hari mendatang. Guru geografi yang profesional, harus memiliki kemampuan “Iqra” ini, dalam membaca fenomena dan isu-isu spasial-global yang menjadi objek studi geografi. Perintah “Iqra” ini hanya ditujukan kepada manusia sebagai “makhluk pembaca”. Membaca, memiliki makna yang luas dalam menimba pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Dari kemampuan membaca ini, dapat mengembangkan kemampuan lain, yaitu menulis, baik artikel-artikel pendek, mapun buku-buku. Konsep Jansen Sinamo “berguru pada kitab suci, Biagrafi dan Buku-buku Mencapai Sukses, hakikatnya adalah membaca”.
Makna lain yang ada dalam diri manusia, termasuk dalam diri guru geografi, yaitu “manusia sebagai makhluk pembelajar” (Andrias Hafera:2000). Belajar bagi manusia, termasuk bagi guru geografi, merupakan proses sepanjang hayat, mulai dari saat lahir, sampai meninggal. Kemampuan membaca dan belajar pada diri manusia menghasilkan budaya/kebudayaan (Koentjaraningrat :1990:180). Kemampuan mengajar, sesungguhnya lahir dari kemampuan belajar yang bermakna (meaningfull learning) sesuai dengan ilmu pokok dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab. Guru profesional, khususnya guru geografi yang profesional, harus memiliki dan mengembangkan kemampuan belajar, supaya memiliki kemampuan mengajar secara profesional. Idealnya, membaca (iqra) dan belajar harus menjadi kebiasaan (habit), sehingga pengetahuan, khususnya pengetahuan geografi selalu aktual serta riil.
Bagi guru, termasuk guru geografi, kebiasaan proaktif (jemput bola), tidak menunggu datang/adanya buku paket/buku teks, melainkan secara aktif mencari sumber-sumber yang aktual (pustaka, grafika, elektronika, nara sumber) yang sesuai dengan pengetahuan pokok dan tugas pendidikan serta pembelajaran geografi yang memperkokoh kemampuan profesional. Kebiasaan bekerja sendiri sebagai guru profesional, merupakan hal yang sangat bermakna atas keyakinan dan harga diri. Namun demikian, bagaimanapun kita memiliki kelemahan yang “barangkali” dapat teratasi dengan kerjasama dengan pihak lain. Oleh karena itu, kebiasaan bersinergi, bukan hanya sebagai karakter makhluk sosial saja, melainkan juga untuk mengatasi kelemahan pribadi, bahkan juga untuk membantu pihak lain yang ada dalam keterbatasan. Karakter profesional, bukan hanya dicirikan oleh kekuatan atas kemampuan pribadi, juga harus tercermin dari kemampuan bekerjasama.
Kebiasaan asah gergaji seperti dikonsepkan oleh Stephen R. Covey (1984), dikaji dari kadar profesional guru, khususnya guru geografi, memiliki makna yang strategis. Guru geografi profesional, harus tetap menjaga aktualisasi diri, tetap segar (ever green) akan pengetahuan, ilmu, dan informasi baru sesuai dengan perkembangan fenomena serta isu-isu spasial global baru. Dengan demikian pola pikir (mindset) selalu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Kebiasaan asah gergaji ini, mekanisme dan prosesnya, melalui membaca pustaka-pustaka yang baru, kegiatan ilmiah (penelitian, seminar, diskusi, sarasehan) serta mengikuti informasi-informasi aktual melalui multi-media (grafika, elektronik, film), baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, mindset kita selaku guru geografi, tetap segar, tidak menjadi kuno.
Pengembangan kadar profesional guru, khususnya guru geografi secara formal, dilakukan melalui pendidikan formal, baik pendidikan akademik maupun pendidikan profesional (pendidikan kedinasan) atau bahkan kedua-duanya. Dengan demikian, secara akademik dan formal, dalam diri kita selaku guru, khususnya guru geografi. Berkaitan dengan undang-undang, tingkat profesional ini secara formal harus ada sertifikatnya. Oleh karena itu, harus ada pengujian formal, sehingga mendapat pengakuan.
Pengembangan dan pembinaan kadar profesional, seperti telah dibahas di atas, secara informal dilakukan sendiri oleh guru yang bersangkutan melalui pengembangan diri (personal development) dengan membaca, belajar mandiri, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai serta bermakna terhadap tuntutan tugas guru geografi. Secara non formal, dilakukann melalui kegiatan-kegiatan ilmiah seperti sarasehan, diskusi, seminar, lokakarya, dan pelatihan-pelatihan yang mendukung peningkatan kemampuan profesional. Dengan kegiatan-kegiatan yang terarah, baik informal maupun nonformal, kemampuan profesional itu sebagai guru geografi, pada kadar nonformal, dapat vterbina. Namun demikian, menurut undang-undang, konsep profesional itu dirumuskan (Undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1, ayat 4) sebagai berikut :
“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”.
Di sini jelas, bahwa profesional secara formal, tidak hanya berdasarkan kegiatan informal dan nonformal semata, melainkan harus dapat diukur secara formal berdasarkan hasil pendidikan profesi, yang mau tidak mau melalui pendidikan formal akademik, terutama pendidikan profesi melalui kedinasan atau lembaga pemerintahan (Dinas, Departemen). Profesional itu, dibuktikan oleh sertifikat pendidikan sebagai pengakuan kepada guru selaku tenaga profesional. Pembeerian sertifikat ini melalui proses “sertifikasi” yang dilakukan oleh Dinas atau Departemen Pendidikan Nasional.
Dari uraian singkat diatas, berikut ini akan disampaikan beberapa butir pernyataan sebagai kesimpulan.
KESIMPULAN
1. Fenomena dan isu-isu spasial-global sebagai akibat proses dinamika geosfer, merupakan tantangan bagi guru geografi untuk dijabarkan menjadi materi pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik.
2. Penjabaran fenomena dan isu-isu spasial-global yang dialami saat ini, menuntut kemampuan profesional guru geografi untuk menjabarkan ke dalam materi pembelajaran yang membekali peserta didik.
3. Pengembangan kurikulum yang kenyataannya di lapangan sebagai perubahan kurikulum, merupakan suatu tuntutan antisipatif terhadap perkembangan dan perubahan dinamika geosfer, baik fenomena fisikal-alamiah maupun sosial-budaya.
4. Pengembangan ataupun perubahan kurikulum, menuntut kemampuan profesional guru geografi utnuk menjabarkannya ke dalam materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik sebagai subjek pelaku pada kehidupannya.
5. Pada kenyataan saat ini, karena berbagai hal yang menghimpit kehidupan guru, khususnya kehidupan guru geografi, tuntutan profesional di atas, baru merupakan tantangan yang belum mampu diantisipasi oleh kemampuan yang masih harus dikembangkan.
6. Pengembangan profesional guru, termasuk guru geografi, secara nonformal, dapat dilakukan sendiri oleh guru geografi melalui kegiatan-kegiatan pengembangan pribadi (personal development) seperti membaca dalam arti yang seluas-luasnya, belajar, baik secara individual, maupun secara nonformal yang meliputi diskusi, sarasehan, seminar, lokakarya serta pelatihan-pelatihan.
7. Pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang bermakna yang meliputi proaktif, sinergi, dan asah gergaji, juga merupakan kesempatan yang sangat fungsional serta strategis membangun kemampuan profesional.
8. Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen, kemampuan profesional itu harus secara formal melalui pendidikan profesi dibawah tanggungjawab Pemerintah, Dinas serta Departemen. Profesional ini harus dibuktikan oleh sertifikat melalui proses sertifikasi.
Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan pada kesempatan yang sangat berharga sekarang. Dengan harapan ada manfaatnya bagi kita bersama, terutama bagi pendidikan geografi yang sedang ditantang oleh berbagai perkembangan dan perubahan yang sedang mengarus.
PUSTAKA RUJUKAN
Andrias Hafera (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara.
Boast, W.M., Martin, B. (2001), Masters of Change, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Covey, S.R. (1994), The Seven Habits of Higly Effective People, Jakarta, PT. Gramedia Asri Media.
Dweck, C.S. (2007), Change Your Mindset, Change Your Life, Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta.
Hall. D. (1976), Geography and Geography Teacher, London, George Allen & Unwin Ltd.
Jansen Sinamo (2005), 8 Etos Kerja Profesional, Jakarta, Institut Darma Mahardika.
Merryfield, M.M., Jarchow, E., Pickert, S., editor (1997), Preparing Teachers to Teach Global Perspectives, California, Corwin Press, Inc.
Nursid Sumaatmadja (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Penerbit Alfabeta.
Syafrudin Nurdin (2005), Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Jakrta, Penerbit Quantum Teaching.
Sztompka, P. (2004), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Williams, M., editor (1976), Geography and The Integrated Curriculum, London, Heinemann Educational Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar