Titis fkip'2010
Selasa, 05 Juni 2012
FENOMENA GEOSFER
Atmosfer adalah lapisan gas yang melingkupi sebuah planet, termasuk
bumi, dari permukaan planet tersebut sampai jauh di luar angkasa. Di
bumi, atmosfer terdapat dari ketinggian 0km di atas permukaan tanah,
sampai dengan sekitar 560 km dari atas permukaan bumi. Atmosfer tersusun
atas beberapa lapisan, yang dinamai menurut fenomena yang terjadi di
lapisan tersebut. Transisi antara lapisan yang satu dengan yang lain
berlangsung bertahap. Studi tentang atmosfer mula-mula dilakukan untuk
memecahkan masalah cuaca, fenomena pembiasan sinarmatahari saat terbit
dan tenggelam, serta kelap-kelipnya bintang. Dengan peralatan yang
sensitif yang dipasang di wahana luar angkasa, kita dapat memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang atmosfer berikut fenomena-fenomena
yang terjadi di dalamnya.
Hai kawan, kali ini saya akan berbagi pengetahuanku dengan kalian........
Secara harfiah litosfer adalah lapisan bumi yang paling luar atau biasa disebut dengan kulit bumi. Litosfer berasal dari bahasa yunani, "lithos" yang berarti berbatu, dan "sphere"yang berarti padat / lapisan.Pada lapisan ini pada umumnya terjadi dari senyawa kimia yang kaya akan Si02, itulah sebabnya lapisan litosfer sering dinamakan lapisan silikat dan memiliki ketebalan rata-rata 30 km yang terdiri atas dua bagian, yaitu Litosfer atas (merupakan daratan dengan kira-kira 35% atau 1/3 bagian) dan Litosfer bawah (merupakan lautan dengan kira-kira 65% atau 2/3 bagian).
GURU GEOGRAFI PROFESIONAL
Fenomena dan isu-isu spasial-global, baik fisik-alamiah maupun
sosial-budaya yang terjadi dipermukaan bumi sebagai ruang hidup serta
kehidupan, merupakan sumber kajian yang menantang studi geografi.
Fenomena dan isu-isu tersebut, wajib menjadi pengetahuan tiap orang,
terutama peserta didik yang mempelajari geografi. Oleh karena itu,
menjadi tantangan bagi guru geografi untuk mengantisipasinya menjadi
bahan pembelajaran yang bermakna, agar masyarakat, khususnya peserta
didik tidak menjadi korban masalah spasial-global yang sedanag melanda
kehidupan dewasa ini, dan hari-hari mendatang. Hanya disini,
bagaimanakah kemampuan profesional guru-guru geografi dilapangan mampu
menjadikan fenomena spasial-global itu menjadi materi pembelajaran yang
mengembangkan pola pikir peserta didik menghadapi masalah-masalah
spasial-global yang tidak terpisahkan dari kehidupan
PENGANTAR
Fenomena apapun dalam ruang peermukaan bumi, baik itu fisikal-alamiah, maupun sosial-budaya, tidak dapat melepaskan diri dari perubahan. Bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi informasi-komunikasi, perubahan itu sangat mengarus. Kita, terutama guru, lebih khusus lagi guru geografi, harus berupaya terhindar dari korban perubahan, namun berupaya mengendalikan perubahan itu (Masters of Change:Boast, W.M., Martin, B.:2001). Salah satu perubahan yang dialami oleh guru di lapangan, tidak terkecuali guru geografi, yaitu perubahan kurikulum di tingkat sekolah yang tidak jarang “membingungkan”. Perubahan kurikulum ini memang “tuntutannya”, mengantisipasi perubahan yang sedang mengarus dalam kehidupan, terutama perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Namun demikian, dilancarkan perubahan kurikulum tersebut, tidak dilandasi oleh kesiapan/persiapan guru sebagai ujung tombak dilapangan.
Idealnya, guru, khususnya guru geografi sebagai orang lapangan, dengan kemampuan dan kematangan profesional, mampu mengantisipasi perubahan-perubahan tadi. Namun dalam kenyataan, lebih banyak kebingungan dari pada siap mengantisipasinya. Kadar profesional guru, khususnya guru geografi, masih hartus ditingkatkan. Salah satu prinsip profesional guru menurut Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen (Bab III, Pasal 7): “memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat”.
FENOMENA DAN ISU-ISU SPASIAL-GLOBAL
Kehidupan manusia saat ini, dihadapkan pada kenyataan perubahan yang mengarus sebagai dinamika fisikal-alamiah, dan terutama perkembangan sosial-budaya. Pertumbuhan penduduk dunia, termasuk pertumbuhan penduduk Idonesia yang terus meningkat, menjadi faktor pendorong pertumbuhan kebutuhan (needs), baik kuantitas maupun kualitas yang juga meningkat. Kemajuan dan pemanfaatan IPTEK dalam mengolah sumberdaya lingkungan (alam, sosial, budaya), sudah merupakan tuntutan yang tidak mungkin dicegah. IPTEK yang dilematik antara kadar positif (rahmat) dan negatif (laknat), harus menjadi kepedulian bersama untuk mengelolanya. Penerapan dan pemanfaatan IPTEK yang tidak terkendali, yang mengabaikan asas-asas ekologi dan kelestarian, telah membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kelestarian lingkungan sebagai sumberdaya.
Fenomena dan masalah-masalah spasial-global yang sedang melanda kehidupan dewasa ini, meliputi ;
- produktivitas pangan yang menurun, dan bahaya kelapan sebagai akibat gagal panen karena cuaca serta musim yang tidak menentu;
- erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan akibat rusaknya kawasan penampung hujan (catchment area), daerah resapan, dan areal hutan lindung, sebagai akibat pembalakan liar (illegal loging) yang tidak terkendali, serta pembangunan fisik (pemukiman, gedung-gedung, jalan) yang tidak memperhatikan drainase dan daerah resapan;
- pencemaran lingkungan (udara, air, tanah, suara) yang diakibatkan oleh pembangunan ekonomi (industri, pertambangan) yang tidak menerapkan AMDAL sebagaimana seharusnya.
- Pemanasan global (global warming), sebagai akibat terjadinya “efek rumah kaca” (green house effects) dari pencemaran udara yang makin meningkat (industri/pabrik, kendaraan bermotor), serta diperkuat oleh rusaknya kawasan hijau(pertamanan, hutan, jalur hijau) yang berfungsi menyerap gas-gas buangan.
- Fenomena gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, letusan gunung api yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku manusia (dalam penerapan, dan menggunakan IPTEK) yang mengabaikan perilaku serta dinamika fenomena alam (percobaan ledakan nuklir liar, penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan).
- Pengangguran dan kemiskinan yang meluas, sebagai akibat kesenjangan antara pertumbuhan penduduk, terutama pertumbuhan angkatan kerja dengan peluang, lapangan serta kesempatan kerja yang terbatas, dan diperkuat oleh ketidakseimbangan sumber-sumber kesejahteraan dampak dari kemiskinan struktural.
Fenomena dan masalah spasial-global tadi, menjadi tantangan bagi guru geografi dan bidang studi geografi, untuk dijadikan materi pembelajaran bagi peserta didik serta juga masyarakat, dalam membina kesadaran dan keterampilan antisipatif terhadap masalah-masalah diatas, sehingga tidak menjadi korban, bahkan dapat mengatasinya.
Guru, khususnya guru geografi dilapangan, masih belum mampu mengembangkan kadar profesional menjabarkan fenomena dan masalah-masalah spasial-global ke dalam materi pembelajaran geografi yang aktual, masih terikat oleh buku teks yang ada. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari beban pokok dalam melepaskan diri dari kehidupan yang menghimpit, akibat tidak seimbangnya penghasilan dengan biaya hidup yang dalam kenyataanya masih berat. Untuk mengembangkan kemampuan profesional sebagai “guru profesional” menurut prinsip profesional (undang-undang no 14/2005): “memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja”. Jika penghasilan yang dirumuskan oleh undang-undang itu telah jelas pada kenyataan, menjadi pendorong bagi guru, khususnya guru geografi untuk meningkatkan prestasi sebagai ciri profesionalisme, sehingga beban hidup yang menghimpit tidak lagi merupakan maslah, bahkan menjadi pendorong realisasi kinerja profesional. Sepanjang kebutuhan hidup pokok belum terpenuhi secara wajar sesuai dengan martabat kemanusiaan, sepanjang itu pula kualitas kerja profesional, sukar terlaksana.
Dalam perkembangan arus kehidupan yang makin mengarah pada sifat materialistik yang dapat dikatakan makin jauh dari nilai-nilai moral, kedudukan guru, termasuk guru geografi sebagai pendidik yang menjadi “ujung tombak” pembinaan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan jaman, hanyalah sebatas “wacana”. Sementara itu, bidang-bidang politik yang tidak langsung berhubungan dengan peningkatan pembinaan sumberdaya manusia generasi mendatang, memperoleh imbalan yang tinggi bila dibandingkan dengan penghasilan guru yang langsung berhubungan dengan proses “penciptaan” generasi yang idealnya berkemampuan kompetitif di ditengah-tengah arus kemajuan dan persaingan.
PENGEMBANGAN PROFESI GURU
Secara reguler, paling tidak, kurukulum di tingkat sekolah dikembangkan (pengembangan kurikulum, curriculum development) tiap lima tahun. Hal tersebut, berkedudukan penting untuk menyesuaikan materi pendidikan dan pembelajaran dengan kemajuan serta tuntutan perubahan kehidupan dengan segala aspeknya. Apabila tidak ada pengembangan kurikulum (oleh orang lapangan/guru, lebih dirasakan sebagai perubahan kurikulum), pendidikan dan pembelajaran disekolah akan keringgalan jaman.
Namun demikian, bagaimanapun baik dan indahnya kurikulum hasil pengembangan sesuai dengan tujuannya, belum tentu berhasil mencapai sasaran serta tujuan, apabila guru sebagai orang lapangan, tidak dipersiapkan dan memiliki kesiapan untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, harus didahului oleh pengembangan kemampuan guru sebelum kurikulum itu dilaksanakan di lapangan sebagai prasyaratnya. Pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, terutama jika terjadi “bertubi-tubi” dalam jangka waktu yang singkat, kurang dari lima tahun, menyebabkan terjadi “kebingungan” dalam diri guru sebagai pelaksana di lapangan. Apabila guru mengalami kebingungan, bagaimanakah implementasi di lapangan, jadinya.
Keberhasilan guru, termasuk guru geografi di lapngan, melaksnanakan tugas sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran, tercermin pada kemampuannya menjabarkan, memperkaya, memperluas, dan “menciptakan” kesesuaian serta keserasian kurikulum dengan realita fenomena dan isu-isu spasial-global, perkembangan IPTEK, serta perubahan sosial pada umumnya. Melalui mekanisme yang demikian itu, proses pendidikan dan pembelajaran, dapat memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan, membina manusia indonesia yang terampil, berpengetahuan, berilmu, berakhlak mulia sebagai calon sumberdaya manusia Indonesia yang modern. Oleh karena itu, sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah”.
Kadar profesional guru itu, termasuk guru geografi, tidak akan lahir begitu saja, melaikan melalui proses pembinaan yang bertahap dan berkesinambungan. Secara formal, tingkat profesional tersebut, diproses pada lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di perguruan tinggi. Secara non formal, melalui kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya, sarasehan, diskusi, dan sebangsanya. Secara individual guru masing-masing melakukan pengembangan pribadi (personal development) seperti yang dikemukakan oleh Jansen Sinamo dalam buku : 8 ETOS KERJA PROFESIONAL (2005), yang antara lain “Bergurau pada dongeng, berguru pada Kitab Suci, bergurau pada biografi, dan berguru pada buku-buku mencapai sukses”. Dengan demikian, membina profesional itu, tidak hanya terbatas pada pendidikan formal dan non formal, melainkan terutama juga sangat bergantung pada dorongan diri pribadi untuk mencapainya. Dalam buku The Seven Habits of Higly Effective People, Stephen R. Covey (1994), antara lain “mengemukakan kebiasaan-kebiasaan proaktif, sinergi, dan asah gergaji”.
“Iqra” – bacalah, perintah Tuhan ini hanya ditujukan kepada manusia, makhluk hidup yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk hidup lain, non manusia. “Membaca” dalam konsep ini, memiliki konotasi yang luas, bukan hanya membaca “teks” hitam diatas putih saja, melainkan membaca dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi membaca fenomena alam, air muka – perangai orang, tanda-tanda jaman, dan kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi di hari-hari mendatang. Guru geografi yang profesional, harus memiliki kemampuan “Iqra” ini, dalam membaca fenomena dan isu-isu spasial-global yang menjadi objek studi geografi. Perintah “Iqra” ini hanya ditujukan kepada manusia sebagai “makhluk pembaca”. Membaca, memiliki makna yang luas dalam menimba pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Dari kemampuan membaca ini, dapat mengembangkan kemampuan lain, yaitu menulis, baik artikel-artikel pendek, mapun buku-buku. Konsep Jansen Sinamo “berguru pada kitab suci, Biagrafi dan Buku-buku Mencapai Sukses, hakikatnya adalah membaca”.
Makna lain yang ada dalam diri manusia, termasuk dalam diri guru geografi, yaitu “manusia sebagai makhluk pembelajar” (Andrias Hafera:2000). Belajar bagi manusia, termasuk bagi guru geografi, merupakan proses sepanjang hayat, mulai dari saat lahir, sampai meninggal. Kemampuan membaca dan belajar pada diri manusia menghasilkan budaya/kebudayaan (Koentjaraningrat :1990:180). Kemampuan mengajar, sesungguhnya lahir dari kemampuan belajar yang bermakna (meaningfull learning) sesuai dengan ilmu pokok dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab. Guru profesional, khususnya guru geografi yang profesional, harus memiliki dan mengembangkan kemampuan belajar, supaya memiliki kemampuan mengajar secara profesional. Idealnya, membaca (iqra) dan belajar harus menjadi kebiasaan (habit), sehingga pengetahuan, khususnya pengetahuan geografi selalu aktual serta riil.
Bagi guru, termasuk guru geografi, kebiasaan proaktif (jemput bola), tidak menunggu datang/adanya buku paket/buku teks, melainkan secara aktif mencari sumber-sumber yang aktual (pustaka, grafika, elektronika, nara sumber) yang sesuai dengan pengetahuan pokok dan tugas pendidikan serta pembelajaran geografi yang memperkokoh kemampuan profesional. Kebiasaan bekerja sendiri sebagai guru profesional, merupakan hal yang sangat bermakna atas keyakinan dan harga diri. Namun demikian, bagaimanapun kita memiliki kelemahan yang “barangkali” dapat teratasi dengan kerjasama dengan pihak lain. Oleh karena itu, kebiasaan bersinergi, bukan hanya sebagai karakter makhluk sosial saja, melainkan juga untuk mengatasi kelemahan pribadi, bahkan juga untuk membantu pihak lain yang ada dalam keterbatasan. Karakter profesional, bukan hanya dicirikan oleh kekuatan atas kemampuan pribadi, juga harus tercermin dari kemampuan bekerjasama.
Kebiasaan asah gergaji seperti dikonsepkan oleh Stephen R. Covey (1984), dikaji dari kadar profesional guru, khususnya guru geografi, memiliki makna yang strategis. Guru geografi profesional, harus tetap menjaga aktualisasi diri, tetap segar (ever green) akan pengetahuan, ilmu, dan informasi baru sesuai dengan perkembangan fenomena serta isu-isu spasial global baru. Dengan demikian pola pikir (mindset) selalu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Kebiasaan asah gergaji ini, mekanisme dan prosesnya, melalui membaca pustaka-pustaka yang baru, kegiatan ilmiah (penelitian, seminar, diskusi, sarasehan) serta mengikuti informasi-informasi aktual melalui multi-media (grafika, elektronik, film), baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, mindset kita selaku guru geografi, tetap segar, tidak menjadi kuno.
Pengembangan kadar profesional guru, khususnya guru geografi secara formal, dilakukan melalui pendidikan formal, baik pendidikan akademik maupun pendidikan profesional (pendidikan kedinasan) atau bahkan kedua-duanya. Dengan demikian, secara akademik dan formal, dalam diri kita selaku guru, khususnya guru geografi. Berkaitan dengan undang-undang, tingkat profesional ini secara formal harus ada sertifikatnya. Oleh karena itu, harus ada pengujian formal, sehingga mendapat pengakuan.
Pengembangan dan pembinaan kadar profesional, seperti telah dibahas di atas, secara informal dilakukan sendiri oleh guru yang bersangkutan melalui pengembangan diri (personal development) dengan membaca, belajar mandiri, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai serta bermakna terhadap tuntutan tugas guru geografi. Secara non formal, dilakukann melalui kegiatan-kegiatan ilmiah seperti sarasehan, diskusi, seminar, lokakarya, dan pelatihan-pelatihan yang mendukung peningkatan kemampuan profesional. Dengan kegiatan-kegiatan yang terarah, baik informal maupun nonformal, kemampuan profesional itu sebagai guru geografi, pada kadar nonformal, dapat vterbina. Namun demikian, menurut undang-undang, konsep profesional itu dirumuskan (Undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1, ayat 4) sebagai berikut :
“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”.
Di sini jelas, bahwa profesional secara formal, tidak hanya berdasarkan kegiatan informal dan nonformal semata, melainkan harus dapat diukur secara formal berdasarkan hasil pendidikan profesi, yang mau tidak mau melalui pendidikan formal akademik, terutama pendidikan profesi melalui kedinasan atau lembaga pemerintahan (Dinas, Departemen). Profesional itu, dibuktikan oleh sertifikat pendidikan sebagai pengakuan kepada guru selaku tenaga profesional. Pembeerian sertifikat ini melalui proses “sertifikasi” yang dilakukan oleh Dinas atau Departemen Pendidikan Nasional.
Dari uraian singkat diatas, berikut ini akan disampaikan beberapa butir pernyataan sebagai kesimpulan.
KESIMPULAN
1. Fenomena dan isu-isu spasial-global sebagai akibat proses dinamika geosfer, merupakan tantangan bagi guru geografi untuk dijabarkan menjadi materi pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik.
2. Penjabaran fenomena dan isu-isu spasial-global yang dialami saat ini, menuntut kemampuan profesional guru geografi untuk menjabarkan ke dalam materi pembelajaran yang membekali peserta didik.
3. Pengembangan kurikulum yang kenyataannya di lapangan sebagai perubahan kurikulum, merupakan suatu tuntutan antisipatif terhadap perkembangan dan perubahan dinamika geosfer, baik fenomena fisikal-alamiah maupun sosial-budaya.
4. Pengembangan ataupun perubahan kurikulum, menuntut kemampuan profesional guru geografi utnuk menjabarkannya ke dalam materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik sebagai subjek pelaku pada kehidupannya.
5. Pada kenyataan saat ini, karena berbagai hal yang menghimpit kehidupan guru, khususnya kehidupan guru geografi, tuntutan profesional di atas, baru merupakan tantangan yang belum mampu diantisipasi oleh kemampuan yang masih harus dikembangkan.
6. Pengembangan profesional guru, termasuk guru geografi, secara nonformal, dapat dilakukan sendiri oleh guru geografi melalui kegiatan-kegiatan pengembangan pribadi (personal development) seperti membaca dalam arti yang seluas-luasnya, belajar, baik secara individual, maupun secara nonformal yang meliputi diskusi, sarasehan, seminar, lokakarya serta pelatihan-pelatihan.
7. Pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang bermakna yang meliputi proaktif, sinergi, dan asah gergaji, juga merupakan kesempatan yang sangat fungsional serta strategis membangun kemampuan profesional.
8. Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen, kemampuan profesional itu harus secara formal melalui pendidikan profesi dibawah tanggungjawab Pemerintah, Dinas serta Departemen. Profesional ini harus dibuktikan oleh sertifikat melalui proses sertifikasi.
Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan pada kesempatan yang sangat berharga sekarang. Dengan harapan ada manfaatnya bagi kita bersama, terutama bagi pendidikan geografi yang sedang ditantang oleh berbagai perkembangan dan perubahan yang sedang mengarus.
PUSTAKA RUJUKAN
Andrias Hafera (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara.
Boast, W.M., Martin, B. (2001), Masters of Change, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Covey, S.R. (1994), The Seven Habits of Higly Effective People, Jakarta, PT. Gramedia Asri Media.
Dweck, C.S. (2007), Change Your Mindset, Change Your Life, Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta.
Hall. D. (1976), Geography and Geography Teacher, London, George Allen & Unwin Ltd.
Jansen Sinamo (2005), 8 Etos Kerja Profesional, Jakarta, Institut Darma Mahardika.
Merryfield, M.M., Jarchow, E., Pickert, S., editor (1997), Preparing Teachers to Teach Global Perspectives, California, Corwin Press, Inc.
Nursid Sumaatmadja (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Penerbit Alfabeta.
Syafrudin Nurdin (2005), Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Jakrta, Penerbit Quantum Teaching.
Sztompka, P. (2004), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Williams, M., editor (1976), Geography and The Integrated Curriculum, London, Heinemann Educational Books.
PENGANTAR
Fenomena apapun dalam ruang peermukaan bumi, baik itu fisikal-alamiah, maupun sosial-budaya, tidak dapat melepaskan diri dari perubahan. Bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi informasi-komunikasi, perubahan itu sangat mengarus. Kita, terutama guru, lebih khusus lagi guru geografi, harus berupaya terhindar dari korban perubahan, namun berupaya mengendalikan perubahan itu (Masters of Change:Boast, W.M., Martin, B.:2001). Salah satu perubahan yang dialami oleh guru di lapangan, tidak terkecuali guru geografi, yaitu perubahan kurikulum di tingkat sekolah yang tidak jarang “membingungkan”. Perubahan kurikulum ini memang “tuntutannya”, mengantisipasi perubahan yang sedang mengarus dalam kehidupan, terutama perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Namun demikian, dilancarkan perubahan kurikulum tersebut, tidak dilandasi oleh kesiapan/persiapan guru sebagai ujung tombak dilapangan.
Idealnya, guru, khususnya guru geografi sebagai orang lapangan, dengan kemampuan dan kematangan profesional, mampu mengantisipasi perubahan-perubahan tadi. Namun dalam kenyataan, lebih banyak kebingungan dari pada siap mengantisipasinya. Kadar profesional guru, khususnya guru geografi, masih hartus ditingkatkan. Salah satu prinsip profesional guru menurut Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen (Bab III, Pasal 7): “memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat”.
FENOMENA DAN ISU-ISU SPASIAL-GLOBAL
Kehidupan manusia saat ini, dihadapkan pada kenyataan perubahan yang mengarus sebagai dinamika fisikal-alamiah, dan terutama perkembangan sosial-budaya. Pertumbuhan penduduk dunia, termasuk pertumbuhan penduduk Idonesia yang terus meningkat, menjadi faktor pendorong pertumbuhan kebutuhan (needs), baik kuantitas maupun kualitas yang juga meningkat. Kemajuan dan pemanfaatan IPTEK dalam mengolah sumberdaya lingkungan (alam, sosial, budaya), sudah merupakan tuntutan yang tidak mungkin dicegah. IPTEK yang dilematik antara kadar positif (rahmat) dan negatif (laknat), harus menjadi kepedulian bersama untuk mengelolanya. Penerapan dan pemanfaatan IPTEK yang tidak terkendali, yang mengabaikan asas-asas ekologi dan kelestarian, telah membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kelestarian lingkungan sebagai sumberdaya.
Fenomena dan masalah-masalah spasial-global yang sedang melanda kehidupan dewasa ini, meliputi ;
- produktivitas pangan yang menurun, dan bahaya kelapan sebagai akibat gagal panen karena cuaca serta musim yang tidak menentu;
- erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan akibat rusaknya kawasan penampung hujan (catchment area), daerah resapan, dan areal hutan lindung, sebagai akibat pembalakan liar (illegal loging) yang tidak terkendali, serta pembangunan fisik (pemukiman, gedung-gedung, jalan) yang tidak memperhatikan drainase dan daerah resapan;
- pencemaran lingkungan (udara, air, tanah, suara) yang diakibatkan oleh pembangunan ekonomi (industri, pertambangan) yang tidak menerapkan AMDAL sebagaimana seharusnya.
- Pemanasan global (global warming), sebagai akibat terjadinya “efek rumah kaca” (green house effects) dari pencemaran udara yang makin meningkat (industri/pabrik, kendaraan bermotor), serta diperkuat oleh rusaknya kawasan hijau(pertamanan, hutan, jalur hijau) yang berfungsi menyerap gas-gas buangan.
- Fenomena gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, letusan gunung api yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku manusia (dalam penerapan, dan menggunakan IPTEK) yang mengabaikan perilaku serta dinamika fenomena alam (percobaan ledakan nuklir liar, penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan).
- Pengangguran dan kemiskinan yang meluas, sebagai akibat kesenjangan antara pertumbuhan penduduk, terutama pertumbuhan angkatan kerja dengan peluang, lapangan serta kesempatan kerja yang terbatas, dan diperkuat oleh ketidakseimbangan sumber-sumber kesejahteraan dampak dari kemiskinan struktural.
Fenomena dan masalah spasial-global tadi, menjadi tantangan bagi guru geografi dan bidang studi geografi, untuk dijadikan materi pembelajaran bagi peserta didik serta juga masyarakat, dalam membina kesadaran dan keterampilan antisipatif terhadap masalah-masalah diatas, sehingga tidak menjadi korban, bahkan dapat mengatasinya.
Guru, khususnya guru geografi dilapangan, masih belum mampu mengembangkan kadar profesional menjabarkan fenomena dan masalah-masalah spasial-global ke dalam materi pembelajaran geografi yang aktual, masih terikat oleh buku teks yang ada. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari beban pokok dalam melepaskan diri dari kehidupan yang menghimpit, akibat tidak seimbangnya penghasilan dengan biaya hidup yang dalam kenyataanya masih berat. Untuk mengembangkan kemampuan profesional sebagai “guru profesional” menurut prinsip profesional (undang-undang no 14/2005): “memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja”. Jika penghasilan yang dirumuskan oleh undang-undang itu telah jelas pada kenyataan, menjadi pendorong bagi guru, khususnya guru geografi untuk meningkatkan prestasi sebagai ciri profesionalisme, sehingga beban hidup yang menghimpit tidak lagi merupakan maslah, bahkan menjadi pendorong realisasi kinerja profesional. Sepanjang kebutuhan hidup pokok belum terpenuhi secara wajar sesuai dengan martabat kemanusiaan, sepanjang itu pula kualitas kerja profesional, sukar terlaksana.
Dalam perkembangan arus kehidupan yang makin mengarah pada sifat materialistik yang dapat dikatakan makin jauh dari nilai-nilai moral, kedudukan guru, termasuk guru geografi sebagai pendidik yang menjadi “ujung tombak” pembinaan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan jaman, hanyalah sebatas “wacana”. Sementara itu, bidang-bidang politik yang tidak langsung berhubungan dengan peningkatan pembinaan sumberdaya manusia generasi mendatang, memperoleh imbalan yang tinggi bila dibandingkan dengan penghasilan guru yang langsung berhubungan dengan proses “penciptaan” generasi yang idealnya berkemampuan kompetitif di ditengah-tengah arus kemajuan dan persaingan.
PENGEMBANGAN PROFESI GURU
Secara reguler, paling tidak, kurukulum di tingkat sekolah dikembangkan (pengembangan kurikulum, curriculum development) tiap lima tahun. Hal tersebut, berkedudukan penting untuk menyesuaikan materi pendidikan dan pembelajaran dengan kemajuan serta tuntutan perubahan kehidupan dengan segala aspeknya. Apabila tidak ada pengembangan kurikulum (oleh orang lapangan/guru, lebih dirasakan sebagai perubahan kurikulum), pendidikan dan pembelajaran disekolah akan keringgalan jaman.
Namun demikian, bagaimanapun baik dan indahnya kurikulum hasil pengembangan sesuai dengan tujuannya, belum tentu berhasil mencapai sasaran serta tujuan, apabila guru sebagai orang lapangan, tidak dipersiapkan dan memiliki kesiapan untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, harus didahului oleh pengembangan kemampuan guru sebelum kurikulum itu dilaksanakan di lapangan sebagai prasyaratnya. Pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, terutama jika terjadi “bertubi-tubi” dalam jangka waktu yang singkat, kurang dari lima tahun, menyebabkan terjadi “kebingungan” dalam diri guru sebagai pelaksana di lapangan. Apabila guru mengalami kebingungan, bagaimanakah implementasi di lapangan, jadinya.
Keberhasilan guru, termasuk guru geografi di lapngan, melaksnanakan tugas sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran, tercermin pada kemampuannya menjabarkan, memperkaya, memperluas, dan “menciptakan” kesesuaian serta keserasian kurikulum dengan realita fenomena dan isu-isu spasial-global, perkembangan IPTEK, serta perubahan sosial pada umumnya. Melalui mekanisme yang demikian itu, proses pendidikan dan pembelajaran, dapat memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan, membina manusia indonesia yang terampil, berpengetahuan, berilmu, berakhlak mulia sebagai calon sumberdaya manusia Indonesia yang modern. Oleh karena itu, sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah”.
Kadar profesional guru itu, termasuk guru geografi, tidak akan lahir begitu saja, melaikan melalui proses pembinaan yang bertahap dan berkesinambungan. Secara formal, tingkat profesional tersebut, diproses pada lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di perguruan tinggi. Secara non formal, melalui kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya, sarasehan, diskusi, dan sebangsanya. Secara individual guru masing-masing melakukan pengembangan pribadi (personal development) seperti yang dikemukakan oleh Jansen Sinamo dalam buku : 8 ETOS KERJA PROFESIONAL (2005), yang antara lain “Bergurau pada dongeng, berguru pada Kitab Suci, bergurau pada biografi, dan berguru pada buku-buku mencapai sukses”. Dengan demikian, membina profesional itu, tidak hanya terbatas pada pendidikan formal dan non formal, melainkan terutama juga sangat bergantung pada dorongan diri pribadi untuk mencapainya. Dalam buku The Seven Habits of Higly Effective People, Stephen R. Covey (1994), antara lain “mengemukakan kebiasaan-kebiasaan proaktif, sinergi, dan asah gergaji”.
“Iqra” – bacalah, perintah Tuhan ini hanya ditujukan kepada manusia, makhluk hidup yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk hidup lain, non manusia. “Membaca” dalam konsep ini, memiliki konotasi yang luas, bukan hanya membaca “teks” hitam diatas putih saja, melainkan membaca dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi membaca fenomena alam, air muka – perangai orang, tanda-tanda jaman, dan kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi di hari-hari mendatang. Guru geografi yang profesional, harus memiliki kemampuan “Iqra” ini, dalam membaca fenomena dan isu-isu spasial-global yang menjadi objek studi geografi. Perintah “Iqra” ini hanya ditujukan kepada manusia sebagai “makhluk pembaca”. Membaca, memiliki makna yang luas dalam menimba pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Dari kemampuan membaca ini, dapat mengembangkan kemampuan lain, yaitu menulis, baik artikel-artikel pendek, mapun buku-buku. Konsep Jansen Sinamo “berguru pada kitab suci, Biagrafi dan Buku-buku Mencapai Sukses, hakikatnya adalah membaca”.
Makna lain yang ada dalam diri manusia, termasuk dalam diri guru geografi, yaitu “manusia sebagai makhluk pembelajar” (Andrias Hafera:2000). Belajar bagi manusia, termasuk bagi guru geografi, merupakan proses sepanjang hayat, mulai dari saat lahir, sampai meninggal. Kemampuan membaca dan belajar pada diri manusia menghasilkan budaya/kebudayaan (Koentjaraningrat :1990:180). Kemampuan mengajar, sesungguhnya lahir dari kemampuan belajar yang bermakna (meaningfull learning) sesuai dengan ilmu pokok dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab. Guru profesional, khususnya guru geografi yang profesional, harus memiliki dan mengembangkan kemampuan belajar, supaya memiliki kemampuan mengajar secara profesional. Idealnya, membaca (iqra) dan belajar harus menjadi kebiasaan (habit), sehingga pengetahuan, khususnya pengetahuan geografi selalu aktual serta riil.
Bagi guru, termasuk guru geografi, kebiasaan proaktif (jemput bola), tidak menunggu datang/adanya buku paket/buku teks, melainkan secara aktif mencari sumber-sumber yang aktual (pustaka, grafika, elektronika, nara sumber) yang sesuai dengan pengetahuan pokok dan tugas pendidikan serta pembelajaran geografi yang memperkokoh kemampuan profesional. Kebiasaan bekerja sendiri sebagai guru profesional, merupakan hal yang sangat bermakna atas keyakinan dan harga diri. Namun demikian, bagaimanapun kita memiliki kelemahan yang “barangkali” dapat teratasi dengan kerjasama dengan pihak lain. Oleh karena itu, kebiasaan bersinergi, bukan hanya sebagai karakter makhluk sosial saja, melainkan juga untuk mengatasi kelemahan pribadi, bahkan juga untuk membantu pihak lain yang ada dalam keterbatasan. Karakter profesional, bukan hanya dicirikan oleh kekuatan atas kemampuan pribadi, juga harus tercermin dari kemampuan bekerjasama.
Kebiasaan asah gergaji seperti dikonsepkan oleh Stephen R. Covey (1984), dikaji dari kadar profesional guru, khususnya guru geografi, memiliki makna yang strategis. Guru geografi profesional, harus tetap menjaga aktualisasi diri, tetap segar (ever green) akan pengetahuan, ilmu, dan informasi baru sesuai dengan perkembangan fenomena serta isu-isu spasial global baru. Dengan demikian pola pikir (mindset) selalu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Kebiasaan asah gergaji ini, mekanisme dan prosesnya, melalui membaca pustaka-pustaka yang baru, kegiatan ilmiah (penelitian, seminar, diskusi, sarasehan) serta mengikuti informasi-informasi aktual melalui multi-media (grafika, elektronik, film), baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, mindset kita selaku guru geografi, tetap segar, tidak menjadi kuno.
Pengembangan kadar profesional guru, khususnya guru geografi secara formal, dilakukan melalui pendidikan formal, baik pendidikan akademik maupun pendidikan profesional (pendidikan kedinasan) atau bahkan kedua-duanya. Dengan demikian, secara akademik dan formal, dalam diri kita selaku guru, khususnya guru geografi. Berkaitan dengan undang-undang, tingkat profesional ini secara formal harus ada sertifikatnya. Oleh karena itu, harus ada pengujian formal, sehingga mendapat pengakuan.
Pengembangan dan pembinaan kadar profesional, seperti telah dibahas di atas, secara informal dilakukan sendiri oleh guru yang bersangkutan melalui pengembangan diri (personal development) dengan membaca, belajar mandiri, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai serta bermakna terhadap tuntutan tugas guru geografi. Secara non formal, dilakukann melalui kegiatan-kegiatan ilmiah seperti sarasehan, diskusi, seminar, lokakarya, dan pelatihan-pelatihan yang mendukung peningkatan kemampuan profesional. Dengan kegiatan-kegiatan yang terarah, baik informal maupun nonformal, kemampuan profesional itu sebagai guru geografi, pada kadar nonformal, dapat vterbina. Namun demikian, menurut undang-undang, konsep profesional itu dirumuskan (Undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1, ayat 4) sebagai berikut :
“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”.
Di sini jelas, bahwa profesional secara formal, tidak hanya berdasarkan kegiatan informal dan nonformal semata, melainkan harus dapat diukur secara formal berdasarkan hasil pendidikan profesi, yang mau tidak mau melalui pendidikan formal akademik, terutama pendidikan profesi melalui kedinasan atau lembaga pemerintahan (Dinas, Departemen). Profesional itu, dibuktikan oleh sertifikat pendidikan sebagai pengakuan kepada guru selaku tenaga profesional. Pembeerian sertifikat ini melalui proses “sertifikasi” yang dilakukan oleh Dinas atau Departemen Pendidikan Nasional.
Dari uraian singkat diatas, berikut ini akan disampaikan beberapa butir pernyataan sebagai kesimpulan.
KESIMPULAN
1. Fenomena dan isu-isu spasial-global sebagai akibat proses dinamika geosfer, merupakan tantangan bagi guru geografi untuk dijabarkan menjadi materi pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik.
2. Penjabaran fenomena dan isu-isu spasial-global yang dialami saat ini, menuntut kemampuan profesional guru geografi untuk menjabarkan ke dalam materi pembelajaran yang membekali peserta didik.
3. Pengembangan kurikulum yang kenyataannya di lapangan sebagai perubahan kurikulum, merupakan suatu tuntutan antisipatif terhadap perkembangan dan perubahan dinamika geosfer, baik fenomena fisikal-alamiah maupun sosial-budaya.
4. Pengembangan ataupun perubahan kurikulum, menuntut kemampuan profesional guru geografi utnuk menjabarkannya ke dalam materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik sebagai subjek pelaku pada kehidupannya.
5. Pada kenyataan saat ini, karena berbagai hal yang menghimpit kehidupan guru, khususnya kehidupan guru geografi, tuntutan profesional di atas, baru merupakan tantangan yang belum mampu diantisipasi oleh kemampuan yang masih harus dikembangkan.
6. Pengembangan profesional guru, termasuk guru geografi, secara nonformal, dapat dilakukan sendiri oleh guru geografi melalui kegiatan-kegiatan pengembangan pribadi (personal development) seperti membaca dalam arti yang seluas-luasnya, belajar, baik secara individual, maupun secara nonformal yang meliputi diskusi, sarasehan, seminar, lokakarya serta pelatihan-pelatihan.
7. Pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang bermakna yang meliputi proaktif, sinergi, dan asah gergaji, juga merupakan kesempatan yang sangat fungsional serta strategis membangun kemampuan profesional.
8. Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen, kemampuan profesional itu harus secara formal melalui pendidikan profesi dibawah tanggungjawab Pemerintah, Dinas serta Departemen. Profesional ini harus dibuktikan oleh sertifikat melalui proses sertifikasi.
Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan pada kesempatan yang sangat berharga sekarang. Dengan harapan ada manfaatnya bagi kita bersama, terutama bagi pendidikan geografi yang sedang ditantang oleh berbagai perkembangan dan perubahan yang sedang mengarus.
PUSTAKA RUJUKAN
Andrias Hafera (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara.
Boast, W.M., Martin, B. (2001), Masters of Change, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Covey, S.R. (1994), The Seven Habits of Higly Effective People, Jakarta, PT. Gramedia Asri Media.
Dweck, C.S. (2007), Change Your Mindset, Change Your Life, Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta.
Hall. D. (1976), Geography and Geography Teacher, London, George Allen & Unwin Ltd.
Jansen Sinamo (2005), 8 Etos Kerja Profesional, Jakarta, Institut Darma Mahardika.
Merryfield, M.M., Jarchow, E., Pickert, S., editor (1997), Preparing Teachers to Teach Global Perspectives, California, Corwin Press, Inc.
Nursid Sumaatmadja (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Penerbit Alfabeta.
Syafrudin Nurdin (2005), Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Jakrta, Penerbit Quantum Teaching.
Sztompka, P. (2004), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Williams, M., editor (1976), Geography and The Integrated Curriculum, London, Heinemann Educational Books.
Rabu, 09 Mei 2012
MORFOLOGI KARST
Karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada
umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase
permukaan , dan gua. Bentang alam atau morfologi karst terbentuk akibat proses
karstifikasi dan proses pelarutan kimia yang diakibatkan oleh aliran permukaan.
Karst yang baik harus mengandung potensi mineral kalsit sekitar70-90% hal ini
dimaksudkan dengan kegiatan pelarutan yang ada. Suatu kawasan karst mempunyai
karakteristik yang khas, baik wilayah permukaan (eksokarst) dan bawah permukaan
(endokarst).
Karst hanya dijumpai di tempat-tempat tertentu. Pada awalnya
pengertian karst merujuk pada nama bentang alam “karst” ditimur kota Trieste,
Slovenia. Karena kekhasannya istilah karst kemudian dipakai untuk menyebut
semua kawasan batu gamping yang telah mengalami suatu proses kelarutan. Karst
merupakan suatu wilayah batu gamping yang ditandai oleh adanya cekungan, lereng terjal, tonjolan bukit berbatu gamping
tak beraturan, gua, mempunyai system aliran air bawah tanah.
1. Ciri-Ciri Karst
Penciri karst sangat beraneka ragam secara garis besar dilihat dari mayor dan minornya:
1. Untuk minor bisa berupa lapis, karst
split, parit karst, palung karst, speleothem dan fitokasrt.
2. Untuk mayor bisa berupa surupan,
uvale, polje, jendela karst, palung karst, gua, terowongan alam.
2.
Proses Pembentukan Karst
Proses
pembentukan karst melibatkan apa yang disebut sebagai “Karbon dioksida
kebawah”. Hujan turun melalui atmosfer dengan membawa karbon dioksida terlarut
dalam tetesan. Ketika hujan sampai ditanah, ia terperkolasi melalui tanah dan
menggunakan lebih banyak karbon dioksida. Infiltrasi air secara terus - menerus
secara alami membentuk retakan - retakan dan lubang pada batuan. Dalam periode
waktu yang lama, dengan suplai karbon dioksida terus - menerus yang kaya air,
lapisan karbonat mulai melarut.
3.
Bentuk-bentuk Sisa Pelarutan :
A. Kerucut Karst
Bukit Kars yang berbentuk kerucut
dan berlereng terjal dan dikelilingi oleh depresi/bintang (Bloom, 1979).
B. Menara Karst
Bukit
sisa pelarutan dan erosi berbentuk menara dengan lereng yang terjal, tegak atau
menggantung, terpisah satu dengan yang lain dan dikelilingi oleh dataran
alluvial.
C. Mogote
Bukit
terjal yang merupakan sisa pelarutan dan erosi, umumnya dikelilingi oleh
dataran alluvial yang hampir rata (Flat).
D. Vaucluse
Gejala
karst yang berbentuk lubang tempat keluarnya aliran air tanah.
E. Turm Karst
Lingkungan
karst yang berupa bukit-bukit kars (Kerucut kars) yang saling berhubungan
antara satu dengan yang lain.
4.
Potensi Kawasan Karst
1. Potensi Ekonomi
Semakin meroketnya jumlah penduduk
tak ayal lagi membuat manusia berusaha untuk bertahan hidup. Gua yang umumnya
di jumpai dikawasan karst sudah lama dijadikan manusia sebagai hunian. Selain
sebagai hunian, kawasan karst juga tempat untuk pertanian/peternakan,
perkebunan, kehutanan, penambangan batu gamping, penambangan guano (kotoran
kelelawar), penyediaan air bersih, air irigasi dan perikanan, serta
kepariwisataan.
Salah satu pemanfaatan yang
merugikan adalah penambangan batu gamping. Dengan menggunakan bahan peledak
akan menganggu hewan didalamnya (kelelawar, burung walet). Pemanfaatan yang
baik untuk kelestarian kawasan karst adalah pariwisata yang selalu berusaha untuk
mempertahankan keaslian dan keunikan kawasan karst tersebut.
2. Potensi Sosial
Nilai sosial-budaya kawasan karst
selain menjadi tempat tinggal juga mempunyai nilai spiritual/religius,
estitika, rekreasional dan pendidikan. Banyak tempat di kawasan karst yang
digunakan untuk kegiatan spiritual/religius. Banyak aspek hubungan antara
manusia dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual khususnya dengan
keyakinan masyarakat dengan fenomena alam di sekitarnya seperti halnya gua.
Hubungan antara manusia dan alam disekitarnya pada dasarnya akan memberikan
pelajaran kepada manusia bagaimana melestarikan alam dan dekat dengan Sang
Penciptanya.
3.
Berikut adalah wilayah karst di
Indonesia :
1. Gunung Leuser (Aceh)
2. Perbukitan Bohorok (Sumut)
3. Payakumbuh (Sumbar)
4. Bukit Barisan, mencakup Baturaja
(Kabupaten Ogan Kombering Ulu)
5. Sukabumi selatan (Jabar)
6. Gombong, Kebumen (Jawa Tengah)
7. Pegunungan Kapur Utara, mencakup
daerah Kudus, Pati, Grobogan, Blora dan Rembang Jawa Tengah)
8. Pegunungan Kendeng, Jawa Timur
9. Pegunungan Sewu, yang membentang
dari Kabupaten Bantul di barat hingga Kabupaten Tulungagung di timur.
10. Sistem perbukitan Blambangan, Jawa
Timur
11. Perbukitan di bagian barat Pulau
Flores, tempat lokasi banyak gua, salah satu di antaranya adalah Liang Bua (Nusa
Temggara Timur, NTT)
12. Perbukitan karst Sumba (NTT)
4. Bentuk
Lahan Karst
Bentuk lahan yang terjadi pada
daerah karst dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu bentuk lahan negative
dan bentuklahan positif.
1.
Bentuk lahan Negatif
Bentuk
lahan negative dimaksudkan bentuk lahan yang berada dibawah rata-rata permukaan
setempat sebagai akibat proses pelarutan, runtuhan maupun terban. Bentuk lahan
- bentuk lahan tersebut antara lain terdiri atas doline, uvala, polye, cockpit,
blind valley.
A.
Doline
Doline merupakan bentuk lahan yang
paling banyak dijumpai di kawasan karst. Bahkan di daerah beriklim sedang,
karstifikasi selalu diawali dengan terbentuknya doline tunggal akibat dari
proses pelarutan yang terkonsentrasi. Tempat konsentrasi pelarutan merupakan tempat
konsentrasi kekar, tempat konsentrasi mineral yang paling mudah larut,
perpotongan kekar, dan bidang perlapisan batuan miring. Doline-doline tungal
akan berkembang lebih luas dan akhirnya dapat saling menyatu. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa karstifikasi (khususnya di daerah iklim sedang) merupakan
proses pembentukan doline dan goa-goa bawah tanah, sedangkan bukit-bukit karst
merupakan bentukan sisa/residual dari perkembangan doline.
Doline merupakan suatu istilah yang
mempunyai banyak sinonim antara lain, sink, sinkhole, cockpit, blue hole,
swallow hole, ataupun canote. Doline itu sendiri telah diartikan oleh Monroe
(1970) sebagai suatu ledokan atau lobang yang berbentuk corong pada batu gamping
dengan diameter dari beberapa meter hingga 1 km dan kedalamannya dari beberapa
meter hingga ratusan meter. Karena bentuknya cekung, doline sering terisi oleh
air hujan, sehingga menjadi suatu genangan yang disebut danau doline.
Berdasarkan genesisnya, doline dapat
dibedakan menjadi 4 yaitu, doline solusi, doline terban, dan doline alluvial
dan doline reruntuhan. (Faniran dan Jeje, 1983)
1. Doline reruntuhan
Doline reruntuhan ini terjadi
sebagai akibat dari proses pelarutan yang ada di bawah permukaan yang
menghasilkan rongga bawah tanah. Rongga bawah tanah tersebut atapnya runtuh,
hingga mengasilkan cekungan atau depresi dipermukaan. Doline seprti ini
mempunyai lereng yang cukup curam-curam terdiri dari lapisan batuan yang keras
dan menurun secara tiba-tiba.
2. Doline Solusi
Doline solusi terjadi karena telah
berlangsungnya proses solusi/pelarutan tanpa mendapat gangguan lain terhadap
batuan. Doline seperti ini terjadi secara perlahan-lahan akibat larutnya
batuangamping ke dalam tanah oleh air yang meresap melalui joint atau
rekahan-rekahan pada daerah batugamping.
3. Doline Terban
4. Doline Alluvial
Doline aluvial ini terjadi sebagai
akibat karena pelarutan oleh air yang mengalir yang kemudian menghilang ke
dalam tanah. Adanya proses tersebut terbentuk doline aluvial.
B. Uvala
Uvala adalah cekungan tertutup yang
luas yang terbentuk oleh gabungan dari beberapa danau doline. Uvala memiliki
dasar yang tak teratur yang mencerminkan ketinggian sebelumnya dan
karakteristik dari lereng doline yang telah mengalami degradasi serta lantai
dasarnya tidak serata polje (Whittow, 1984)
C. Polje
Polje adalah ledokan tertutup yang
luas dan memanjang yang terbentuk akibat runtuhnya dari beberapa goa, dan
biasanya dasarnya tertutup oleh alluvium.
D. Blind Valley
Blind Valley adalah satu lembah yang
mendadak berakhir/ buntu dan sungai yang terdapat pada lembah tersebut menjadi
lenyap dibawah tanah.
2.
Bentuklahan Positif
Pada prinsipnya ada 2 macam
bentuklahan karst yang positif yaitu kygelkarst dan turmkarst
A. Kygelkarst
Kygelkarst merupakan satu
bentuklahan karst tropic yang didirikan oleh sejumlah bukit berbentuk kerucut,
yang kadang-kadang dipisahkan oleh cockpit. Cockpit - cockpit inisialing
berhubungan satu sama lain dan terjadi pada suatu garis yang mengikuti pola
kekar.
B. Turmkarst
Turmkarst merupakan istilah yang
berpadanan dengan menara karst, mogotewill, pepinohill atau pinnacle karst.
Turmkarst merupakan bentukan positif
yang merupakan sisa proses solusional. Menara karst/ tumkarst terdiri atas
perbukitan belerang curam atau vertical yang menjulang tersendiri diantara
dataran alluvial.
C. Stalaktit Dan Stalakmit
Stalaktit adalah bentukan meruncing
yang menghadap kebawah dan menempel pada langit-langit goa yang terbentuk
akibat akumulasi batuan karbonat yang larut akibat adanya banjir. Stalakmit
hamper mirip dengan stalaktit namun berada di bawah lantai dan menghadap
keatas.
Kawasan
karst peka terhadap erosi, terutama apabila derajat kemiringan tebing-tebingnya
besar, seperti pada conical atau towerkarst. Erosi tidak selalu berupa erosi
permukaan, dimana tanah terhanyut oleh sungai-sungai permukaan di musim hujan
ke daerah-daerah yang letaknya lebih rendah atau cekungan-cekungan, tetapi di
kawasan karst, yangpenting ialah erosi melalui rekahan-rekahan yang dijumpai
pada hampir seluruh lapisan batu gamping. Melalui rekahan-rekahan atau
celah-celah ini, tanah akan dihanyutkan oleh air hujan dan sungai permukaan
yang biasanya hanya mengalir sewaktu hujan, ke dalam rongga-rongga di bawah
tanah. Jumlah rekahan, arahan dan luasnya tergantung pada berbagai faktor,
seperti litologi, gerakan tektonis, porositas intragranuler batu gamping dan
tebalnya humus yang menutupi tanah kawasan karst.
Jenis
tanaman karst di daerah-daerah yang belum dijamah manusia memang ada yang
endemis, dan hanya tumbuh pada kawasan karst tersebut karena mempunyai afinitas
terhadap susunan batu gamping di tempat itu. Erat hubungannya dengan endemisme
vegetasi tersebut, kiranya dapat dihubungkan adanya beberapa jenis fauna yang
endemis untuk suatu daerah karst.
Misalanya, keong-keong tertentu bahkan ada
satu jenis keong yang hanya didapati di satu bukit batu gamping tertentu di
Malaysia.
Penyebaran
jenis tanaman di suatu kawasan karst dapat terjadi melalui burung (aviafauna :
biji-bijian, spora) atau melalui hembusan angin (spora) dan arus air permukaan
(biji-bijian, spora, kecambah, anakan,dsbnya). Kegiatan manusia mulai dari
penggundulan hutan atau agrikultur juga akan merubah tata tanaman di suatu
lingkungan karst. Penanaman kembali beberapa jenis flora juga akan merubah pola
tumbuh-tumbuhan di kawasan karst, sehingga silvikultur akan berubah sebagian
atau total. Hidrologi yang khas untuk setiap kawasan karst yang dapat berbeda
dari suatu kawasan karst dengan yang lain, ketinggian di atas permukaan laut
yang berbeda pula, iklim (curah hujan) yang berlainan, susunan tanah yang
bervariasi (derajat keasaman, kandungan mineral, kimiawi tanah, mikrofauna
tanah) juga akan mempengaruhi sukses tidaknya, lama atau sebentarnya beberapa
jenis tumbuhan dapat berkembang.
Apabila
kondisi menguntungkan, maka jenis-jenis tanaman tertentu akan tumbuh dengan
baik sejak semula. Tetapi bila kondisi kurang menguntungkan, maka mula-mula
akan terlihat betapa sulitnya sejenis tumbuhan yang diintroduksi itu hidup, bahkan
mungkin akan mati semuanya.
Ada
beberapa semak yang sangat karakteristik untuk batu gamping, karena mempunyai
afinitas terhadap bahan tersebut. Disebut dengan istilah tanaman calcicolous.
Misalnya boea, chirita, monophyllaea, paraboea (gesneriaceae). Puncak
perbukitan batu gamping hutan basah tropika di Sarawak dengan jenis tanah yang
kurang sekali kesuburannya, bersifat asam (pH=4,5) menumbuhkan tanaman sistem
karangas, seperti nephentes, vaccinium, rhododendron. Pada pinnacle karst di
Papua New Guinea tumbh jenis pohon casuarina papuana, agathis labillardieri,
hal mana juga ditemukan pada perbukitan waigeo di Irian Jaya, pada tanah gambut
masam.
Di
Tanam Nasional Gunung Mulu di Sarawak, terlihat tumbuh di kawasan batu gamping,
conifer dacrydium becorii, phyllocladus hypophyllus dan myrica esculenta. Di samping itu juga tumbuh beberapa jenis
tanaman yang menyukai lokasi terjal atau tergantung (overhang) seperti pada
bukit-bukit dan lereng-lereng terjal batu gamping.
Jenis tanaman ini digolongkan dalam
kelompok cremnophytes, antara lain termasuk alam golongan ini adalah pohon
beringin dan berbagai jenis paku-pakuan. Sebelum melakukan penghijauan suatu
kawasan karst, hendaknya dibahas dulu secara seksama secara multidisipliner,
lintas sektoral, apa tujuan dari penghijauan itu. Apakah untuk memperbaiki
oro-hidrologi, memperbaiki keadaan sosioekonomi rakyat setempat, untuk hutan
produktif, untuk tujuan wisata alam, untuk konservasi tanah (mencegah erosi),
untuk penunjang bagi usaha peternakan, pembakaran batu gamping menjadi kapur,
ataukah untuk tujuan ilmiah (silvikultur, plasma nutfah, flora-fauna karst,
dll). Erat dengan tujuan itu setiap tindakan hendaknya dilaksanakan secara
konsekuen dan terintegrasi secara konsisten. Mula-mula harus ditentukan jenis
tanaman mana yang potensial untuk digunakan (sesuai dengan ketinggian lokasi di
atas permukaan laut, jenis dan luas tanah tersedia, sudut kemiringan, iklim,
curah hujan, dana yang tersedia, sarana dan prasarana, waktu tanam, segi
ekonomis, jangka waktu yang disediakan untuk penghijauan kembali).
Misalnya
untuk memperbaiki hidrologi suatu kawasan karst yang sudah gundul, cukup
dilakukan penghijauan dengan menanam aneka semak belukar maupun tanaman penutup
tanah (ground cover vegetation) yang cepat tumbuh dan tahan kekeringan. Menanami
kawasan karst dengan jenis-jenis pohon dengan laju penguap-peluhan tinggi,
seperti pinus mercusii dan aneka jenis eucalypti yang tahan kekeringan seperti
eucalyptus urophylla dan E.alba akan berdampak lebih mengeringkan tanah. Hal
ini dikarenakan sistem perakarannya yang menginvasi percelahan-rekahan batu
gamping yang terkarstifikasi, juga akan melebarkan celah-rekah itu melalui
proses pelarutan kimia. Celah-rekah yang melebar itu kemudian memudahkan
terjadinya erosi tanah ke dalam interior karst, hal mana bermanifestasi sebagai
lapisan lumpur tebal pada dasar sungai-sungai bawah tanah (erosion en fissure).
Untuk
meneliti silvikultur secara ilmiah di kawasan karst dan memonitori ekologi
lingkungan harus diadakan pencatatan secara cermat dan teratur dari curah
hujan, debit dan fluktuasi debit sungai di dalam gua, taksonomi, daerah
penyebaran, frekuensi dan diversifikasi berbagai fauna dengan stres pada
aviafauna dan serangga (siang dan malam), sebagai agens penyebar serbuk bunga,
spora dan biji-bijian. Kelelawar, burung seriti dan walet penghuni gua juga
perlu dimonitor karena erat kaitannya dengan kondisi vegetasi di luar gua dan
jumlah serangga yang dimangsa oleh hewan itu.
Usaha
memonitor kualitas tanah (fisik, kimiawi) perlu dikerjakan karena keadaannya
tidak mungkin statis, dan akan mengalami perubahan kualitas dengan semakin
banyaknya tanaman tumbuh. Penyelidikan sedimen di atas kawasan karst ini
seyogyanya dilaksankan sambil menyelidiki kualitas dan kuantitas sedimen gua,
untuk dapat memonitor perubahan vegetasi tingkat kesuburan di atas tanah.
Denudasi
karst dan kecepatannya harus diukur. Makin banyak vegetasi dan sisa-sisa
organik yang tertumpuk di sautu kawasan karst, makin cepat timbul denudasi oleh
daya korosif air hujan yang tercemar dengan humus akibat kandungan CO2 galak di
dalamnya. Untuk itu perlu diletakkan satu bongkahan batu gamping dengan ukuran
tertentu, diletakkan di suatu tempat terbuka, dan diukur secara berkala (dua
kali setahun) untuk diukur kembali dengan cermat (pakai mikrometer) berapa
persen yang terlarut dalam setahun, dilengkapi data curah hujan pada periode
tersebut. Data yang diperoleh ini penting untuk dibandingkan dengan data jumlah
batu gamping yang larut dalam satuan waktu yang sama, curah hujan yang sama,
yang didapatkan dengan mengukur kesadahan (kandungan Ca(HCO3)2) dari sungai di
dalam gua pada periode itu. Semakin berhasil penghijauan, semakin besar denudasi
karst yang akan terjadi.
Kesuburan
tanah juga seyogyanya dimonitor dengan bantuan mikrofauna tanah seperti Collembola.
Collembola secara internasional telah dipakai sebagai parameter kesuburan
tanah. Jenis (spesies) sangat banyak. Spesifik sekali untuk satu lokasi. Untuk
dokumentasi telah disusun Internasional Register of Collembola di luar negeri,
antara lain dapat dilihat di laboratorium di bawah tanah MOULIS dari CNRS
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis).
Dari Indonesia baru dikenal sekitar 18 spesies
Collembola bawah tanah (subsoil) dan belum satupun Collembola gua yang dikenal.
Memonitor dinamika pembentukan tanah dan tingkat kesuburan di daerah karst
hendaknya dilaksanakan secara simultan dengan menyelidiki spesies dan kuantitas
(kepadatan per M2) Collembola di atas dan di dalam gua. Makin berhasil usaha
penghijauan suatu kawasan karst, makin banyak jenis dan kepadatan populasi
Collembola perunit luas.
Dari
uraian di atas kiranya jelas, bahwa menentukan vegetasi mana yang cocok untuk
suatu kawasan karst tertentu tidaklah mudah. Tergantung kepada tujuan
penghijauannya. Sifat fisik an kimiawi tanah, iklim, curah hujan, ketinggian di
atas permukaan laut, bahkan juga tergantung pada vulkanisme di kawasan
tersebut. Juga tergantung ada tidaknya agens-agens penyebarnya. Atau fauna
tanah yang membantu menyuburkan tanah di tempat itu. Karena itulah setiap usaha
penghijauan suatu kawasan karst harus didahului oleh suatu studi menyeluruh
secara multidisipliner, lintas sektoral, dimana sifat fisik karst itu sendiri
dan pedologinya mendapatkan prioritas tertinggi di samping sifat hidrologinya
yang dapat berbeda dari satu bagian kawasan karst ke bagian lain dari kawasan
yang sama.
Sukses
tidaknya tergantung pada pilihan tepat dari pada jenis-jenis tanamannya yang
disesuaikan dengan tujuan penghijauan itu, perawatannya secara kontinyu dan
ketekunan dari pihak pengelola yang tidakmengenal lelah. Bonus daripada
berhasilnya penghijauan tersebut adalah pemandangan elok, menghijau yang
mempunyai nilai kepariwisataan yang tinggi, di samping tentunya orohidrologi
yang mantap. Tidak mengenal adanya banjir (terutama di dalam gua) sewaktu musim
hujan dan sewaktu musim kemarau tetap tersedia air bersih yang dapat
dimanfaatkan rakyat di kawasan karst itu.
Langganan:
Postingan (Atom)